Abah

Bagaimana aku bisa berpikir sedangkan bapak di belakangku tak.mau diam.. Bukan karena ia terus berbicara tentang asam garam kehidupan dan masa kejayaan dia yang telah usai, tapi karena ia terus bergerak kesana kemari.. Tak.mungkin aku.protes pada juara yang satu ini, juara dalam hidupku yg kini membuatku harus menjaga keseimbangan agar tak terjatuh dari motor kecilku. Ya hari ini langit membentuk peta jelaga.. Mengarahkan masa kecil yg terbungkus keringat dia.. Konon bapak mengajak berkunjung ke toko buku semenjak 27 tahun aku dititipkan kepadanya, ini yang pertama. bukan masalah siapa yang membayar siapa, ini tak berarti. namun hujan semakin mengentalkan suasana. aku terharu. dialah yang selama ini menopang hidupku, mahluk tambun yang biasanya jarang bicara, bahkan ketika aku berada di rumah, nonton bola atau makan malam bersama, kami jarang berbicara. aku tak tau alasan itu apa harus diungkapkan, meski aku tak tau apa. mungkin itu cara dia mendidik anak-anaknya yang beranjak mimpi basah. terakhir kali adalah 1993, sang juara mengajak anak bungsunya yang bernama aku bertamasya, hari itulah pertama kalinya aku melihat tuhan menumpahkan air yang banyak,  laut namanya, dan aku berada di bibir pantai yang perawan, dari kaki samudra beach hotel. mungkin waktu itu aku terlalu dini untuk tertegun merasakan pasir bergerak diantara sella-sela kakiku, tapi hari ini aku nyawa bapak ada di kendaliku, keseimbangan adalah penentu nasib, karena aku terlalu kurus untuk membonceng sang juara yang besar ukurannya. bagaimanapun aku harus rela jas hujan satu2 nya dia yang pakai, kurang ajar betul bila aku tetap kering sementara dia yang kuyup, tidak. cukup sudah pengorbanan dia. apa itu palasari? sebuah surga bagi para kutu buku, tempat mangkalnya kaum berkacamata tebal seperti bung irfan, pilihan ekonomis dan masuk akal untuk mendapatkan harga murah bagi bung joni, atau mungkin kenangan yang terjaga untuk bung ronald, semua saudara2 ku tadi punya ceritanya sendiri. dan buatku adalah lokasi terjauh yang akan aku pijak saat ini, setidaknya disana bisa aku lihat segaris senyum dari bapak, melihat bejibun literasi sampai dia harus mengencangkan ikat pinggang agar lolos dari labirin kata-kata. mencari kitab yang dia cari selama ini. baiklah bagaimapun bapak adalah bapak saya, mengerti dengan kondisi finansial anaknya, meski aku terang2an agar membeli apa saja yang dia mau, aku tak peduli. hujan semakin deras dan lima kitab tebal telah berhasil di bungkus. aku menunggu kedua hal itu berhenti secara perlahan. sekali lagi misi kemanusiaan episode kedua dimulai, diantara air yang tumpah dari langit dan sang juara yang tak mau diam duduk di belakang. namun sekarang lebih berbeda, karena bagaimanapun ini yang kunantikan, keluar bersama sang juara. roti bakar selepas hujan, mengembalikan masa lalunya untuk sementara, padanya yang dulu adalah pegawai negeri sipil berbaju hijau tua dan gagah sedang menunggu roti bakarnya selesai di bungkus, 1965. dan waktu berhenti pada sebuah kios roti di kosambi. bercerita tentang seperti apa dia dulu disini seperti memutar film bisu tanpa warna dalam lintasan kepala, tak perlu kuragukan tentang apa yang pernah dia lalui agar aku bisa seperti ini sekarang, tugas dia telah selesai, anak2nya satu persatu tumbuh dan dewasa. aku yang terakhir, tak bisa kurelakan dia berkeringat lagi, karena sekarang dan nanti ada aku yang mengangkat derajatnya, karena ada aku yang nanti mencium kakinya ketika kusampaikan dia dihadapan ka'bah kelak.. (continue...)

1 komentar:

Irfan Teguh mengatakan...

wow, like this Bung!

Posting Komentar

 
Copyright © kakilangit