1

postingan pun lanceuk

karek ningali lanceuk posting dina grup dinasty nangerang, anjeunan emang gaduh pinunju kana budaya sunda, cenahmah baheulana aktivis sosial budaya jeung ekonomi di kampus winayamukti. istilahna di panca kaki ngan hiji2 jelema nu nganut jeung concern kana budaya sunda, moal apaleun the sigit atanapi  the cors komo deui, kieu cenah tulisana da simkuring ge teu ngartos :


Mikir-mikir dinu suni
Naha naon anu di pilari
Awak barentol di coco reungit
Teu lila ka ambung hangit

Ngaheujeun peupeureudeuyan
Ngijir wangsit neangan ilham
Najan Sono teu kapalang
Ngaburusut teu bisa dipungpang

Nyangereng bari cingekeng
Na handapeun tangkal menteng
Ngagulusur ngaliwatan cangkeng
Nu kaluar rupana koneng

Kacipta keur ngadaharna
Masakan mancanagara
Istimewa tur pangmahalna
Ayeuna Kari Waasna

menjelang sejarah

besok negara ini akan punya kedaulatan sendiri, kami yang telah dan akan melukis sejarah dengan darah dan airmata yang tak bisa kau hitung, akan segera mewariskan tanah yang subur untuk generasi - generasi kemerdeakaan. bung karno telah di bawa golongan muda ke renggas dengklok untuk merumuskan proklamasi. dan rasanya seperti menunggu lebaran, " malam ini kita takbiran bung" kopral joni tiba-tiba saja berbicara dengan muka yang lurus seakan ada bidadari ada dalam lampu minyak tempel di pelapon. sinarnya mulai redup, seakan wajahnya adalah layar proyektor filem  yang bersinar2 lemah, dia adalah mantan aggota bpupki atau dokuritsu junbi cosakai, sebuah badan yang di bentuk oleh pemerintah pendudukan balantentara jepang tanggal,  29 april, dia adalah orang pertama dari 63 orang yang dipilih radjiman  wedyodiningrat, hanya gara-gara dia menyukai istri masuda (wakil badan tata usaha yang di ketuai R.P Soeroso)dia langsung di keluarkan. " sudah lama kita tidak lebaran bung, bolehlah kau simpan gelas kopimu itu di meja, biar kita bisa beramai-ramai merayakannya"bung irfan teguh pribadi menyela,dia kaki kanan sutan sjahrir yang pernah membunuh tentara jepang dengan batu sungai.
bung irfan : kalau saja tak kulempar batok kepala jepang waktu itu, niscaya kau tak kan ada disini menenggak kopi"
Kopral Joni: kalau saja aku jadi kawin lari sama istrinya masuda, niscaya aku terlalu bahagia untuk memikirkan perjuangan bung,
bung irfan : alahh mati saja kau dengan mimpi kau itu, negara kita tak butuh orang2 seperti kau,
kopeal joni : hagagaga, macam ku tak tau aja cerita merah jambu kau dengan suster makie, invalid hahahha"

yah mereka memang seperti itu dari dulu semenjak dibukanya pendaftaran PETA, tidak ada yang mau mengalah meski mereka sama-sama hutang nyawa satu sama lain. bagi mereka kemerdekaan bukanlah tuhan yang harus di agung2kan, itu hanya bonusnya saja, kemerdekaan bagi mereka adalah darah persahabatan yang mengalir deras dalam tubuh. ah sudahlah kenapa aku jadi termenung melihat gelas kaca yang retak.

kau tau bung, seandainya di jaman ini blackberry telah ada mungkin tak perlu susah2 membetulkan radio merk general elektric ini hanya untuk mendengar kabar dari batavia, cukup tau pin bung karno maka semua urusan selesai.tapi tetap saja bung eka dari laskar cirebon harus naik ke atap menjemur batu batre agar bisa digunakan besok dan itu berulang-ulang setiap hari saban siang, mungkin seterusnya sampai  Mike Lazaridis punya ide gila tentang push email. ah sudahlah itu hanya kotoran masa depan.

aku berlalu menuju halaman barak depan, meninggalkan bung irfan dan kopral joni di belakang, karena suasana mulai panas, mungkin sebentar lagi adu mulut, lalu adu mata, lalu adu otot dan akhirnya berkelahi,slalu seperti itu. kulihat bendera masih malaz bergerak, seakan menyimpan tenaga untuk berkibar esok hari, entah kapan. para prajurit begitu sangat bersemangat menikmati pagi dan mandi matahari,ya macam menjelang lebaran yang tak pernah mereka rayakan, meski tak tau kapan kita akan merdeka (berlanjut)
0

kedatangan muhidin

dan pada akhirnya jarum jam tegak lurus membentuk sudut 90 derajat pada pagi yg tawar. keletakkan seperangkat alat keras dan isinya pada lantai kedua, chinup copeland mengudara untuk pertamakali, kuluruskan dengan asap dan secangkir kopi seadanya, meski sudah seminggu dua indera kemanusiaanku tak berfungsi...puncak manglayang tampak tak senang melihatku seperti orang yang malas, kepalanya ia kaburkan di balik embun sisa tadi subuh, mataharipun berkoalisi dengan dia rupanya. tapi aku tak peduli, hanya karena tak ingin bercengkrama dengan udara yang membekukan darah, aku sengaja membuka mata lebih siang dari biasanya, bergerak memanjat tangga telanjang kaki, tanpa baju, tanpa handuk.tangga istimewa menuju kantung literasi, mini arsenal, atau lebih tepatnya gudang peluru (setidaknya para militan republik bulubabi menyebutnya seperti itu), meski tak bisa di bandingkan dengan penguasa gudang peluru jakarta, sektor depok bahkan dengan topi bundar sekalipun, sebuah ruang tanpa identitas, tanpa pengaturan yang memenuhi estetika tanpa art deco. tanpa peluru yang yang bertumpuk. meski tak ada yang berkarat sekalipun.. sebuah tulisan pada suatu bungkusan coklat tanpa alamat, dari situ aku tau siapa yang menitipkannya pada pria tua berkacamata didepan pintu, "scripta manent verba volant" cukup diplomatis dan elegant, bung irfan mengirimkannya padaku tiga hari yang lalu, berisi ilham yng sedari dulu aku cari, akhirnya ada di tangan kanan, muhidin terbungkus kaku didalamnya, membuatku merasa harus berterimakasih banyak pada si pengirim, setelah berkali-kali kubongkar palasari, gramedia, gunung agung, tisera, toko buku pinggir kali, pinggir jalan bahkan area 51 dewi sartika tak kunjung kudapati ilham itu.terima kasih banyak telah tanpa sengaja bertemu muhidin di sukabumi dan berkata "untuk kantung literasi, semuanya haratis".

" buku tak bisa kau samakan dengan mie instant, yang akan mengembang setelah kau siram dengan air panas"
0

eunteung

kau begitu rahasia, betapa ku tak dapat memahami jalan hidupmu yang berantakkan, ucapanmu selalu terdengar diplomatis dibalik ketakutanmu terhadap krisis masa depan, apa lagi yang ingin kau langkahi selain hari ini kawan? apa yang kau tunggu untuk membalikkan hati?

masih kudengar suara itu dalam kepala, mengacau balaukan neurotoksin dalam sistem saraf ku, membuatku ingin menceburkan dili dalam kolam yang dalam dan tak muncul lagi. tapi keputus asaan adalah senjata utama para pecundang.
0

Suatu waktu, dengan segelas kopi hitam.

Kau masih duduk disitu tanpa bergerak sedikitpun, nafasmu yang tenang terdengar seperti suara angin, segelas kopi hitam kau biarkan tak berasap lagi, memangku cerita yang hanya kau yang tau. Dalam pikiranmu yang teramat rahasia, di kedalaman matamu yang menghanyutkan, aku begitu nyaman melihatmu dari sini, melihat bintang yang berjatuhan di atas kepala.. seakan kau titipkan mimpimu  di setiap lintasan cahaya yang tercipta, aku hanya mengikuti arahnya ke tenggara, tapi kepalamu tetap kau teggakkan, hanya sesekali garis wajahmu terlihat tegas mengisyaratkan kau takkan penah berhenti mencari dirimu yang  dulu.. ah manusia macam apa ini, yang membuatku merasa kau perhatikkan meski kau tak melihatku, mungkin dengan diam mu itu kau mengisyaratkan ingin aku lihat, manusia kumal dan tak layak masuk media yang ternyata membuatku merasa nyaman, meski kau tidak melakukan apa2…hanya ingin kau tetep disitu di sepertiga malam, tetap diam duduk dan memangku tangan, tetap kau tegakkan kepala meski tak ada lagi bintang yang mengotori langit meski tak ada lagi aku yang memperhatikanmu lagi..
Yang menjadi jarak adalah tembok itu , dibangun dari rangkaian kata2 yang menyerangmu ketika kau dijatuhkan dulu, hingga kau kini menjadi penghuni malam yang dibenci orang, doktrin telah menjadi budaya  orang2 kampung, mengecapmu sebagai manusia tanpa perasaan, acapkali kau menodong orang-orang dengan pertanyaan tanpa jawaban, retorika, berfilosofi dan membangun teori2 hidup diatas kerajaanmu sendiri, bagaimana mereka tidak kesal dengan suara mesin tik mu yang memecah malam menjadi puing-puing mimpi buruk ketika mereka gagal terlelap karena suaramu yang tak terdengar.. hanya limbah suara yg dapat membuatmu terlempar dari kampung itu. Dan kau tetap merasa benar.. padahal kita sama-sama tau, menggali jejak dalam-dalam dan menjemput krisis tak bisa kau hindarkan. Suatu hari kau akan lupa pada pemberontakanmu, ketika dulu ibumu berpesan agar jangan jadi penulis, apalagi pelawak. Kebanyakan hidupnya gak lama katanya, cepet bosan, ada saja yang harus kau lawan, meski Negara mulai diam memperlakukanmu sebagai kaum garis kiri. Bukankah dahulu pernah melekat surat QS. Al-Israa: 23-24 dalam kepalamu yang bebal?
0

melawan keterlambatan 2

untuk pertma kalinya saya membenci tuhan 9 cm, bukan karena telah membuat saya semacam ingin muntah atau asapnya membuat mata pedih tapi karena telah menjauhkan saya dari mahluk manis di dalam bis. dulu kami menyebutnya dengan istilah bintang jatuh, dan bung presiden menyebutnya dengan olva. kau tau bung, saya menemukan olva. sini ku kasih tau bung, tapi jangan kau sebarkan lewat media, saya alergi dengan infotainment.
kimia jiwa memang tak punya rasa sopan santun, dia datang seenak perutnya saja menghantam perasaan dan pergi tanpa pamitan, macam jelangkung saja kupikir.tapi masa bodo amat, aku di kejar waktu bung, tertatih tatih menyeret tas berat yang isinya entah apa.jika terlambat tamatlah sudah riwayat kertas seharga 75rb rupiah.baiklah, masi ada waktu dan aku telah sampai pada bagian check in bis primajasa, entah karena faktor apa, mereka kasih saya duduk di bangku no 13, kurang ajar betul, maksudnya apa ini, "mbak ada nomer lain gak? saya alergi dengan angka 13?" "wah gak bisa mas udah penuh""tuker aja mbak nanti saya kasih kalender 2012 deh""gak bisa pak, harus dengan persetujuan penumpang lain"" yaudah, tapi siapin valium dosis tinggi dan ambulan bwt jaga2 y!""tenang pak, driver kami berpengalaman menangani orang ayan dan kesurupan ko", aku berbalik dan lekas pergi menuju bis tanpa pamitan ato bilang terimakasih sama front office tadi, kurang ajar betul kupikir.
bangku di sebelahku masi kosong, entah siapa yang akan duduk disana, smoking room masih bersih dari kepulan asap, saatnya foging, maka jika ada kuisioner tentang bangku favorit di dalam bis, aku yakin buang irfan dan bung joni pasti memiliki jawaban yang sama denganku, Smoking room, ditulis dengan huruf yang tebal dan di garis bawahi dengan tinta merah dan tanda seru sebanyak tiga kali.tak boleh kurang.
bis mulai bergerak,dan aku masi enggan beranjak dari kursi belakang, biar saja tasku saja yang kusimpan di sana duduk sebentar mengambil air mineral, sebungkus light dan pergi lagi ke belakang dengan wajah yang sok dingin seperti orang yang tak butuh wanita dalam hidupnya, atau malah mempunyai selera tinggi tentang tipe wanita, tapi bukan itu alesannya, saya hanya masi kesal dikira orang penyakitan tadi. meski penguasa kursi 14 telah bersemayam disitu, wanita muda, berkerudung, dan berjaket woll biru, tak sempat ku liat wajahnya, apalagi menyapa. maklum saya orang yang menjunjung tinggi pancasila sila pertama, meskipun sedikit ber anomali.
berbatang-batang saya bakar, nikmat rasanya duduk bersama barang2 di dekat toilet. tapi saya sendirian disana, itu esensinya. membaca buku ranah tiga warna yang baru aku tukar dengan semacam uang di palasari.dan bis pun melaju sangat cepat, secepat zat asam yang keluar dari lambung, aku menderita kelaparan.
oh itu terminal 1A telah sampai, segera kumatikan lights dan turun, wanita tadi kulihat turun juga, wanita penguasa kursi 14, entah apa yang sedari tadi dia bicarakan dengan tasku di sampingnya, aku lekas turun, jika saja tasku tidak lebih berat dari berat tubuhku, mungkin aku bisa berjalan beriringan dengannya, membawakan tasnya seperti etika seorang pria sejati dalam buku tatang sutarman,meski lebih mirip seperti para porter dan berbincang-bincang basa-basi, tapi kenyataan berkata lain bung, nyatanya aku dikalahkan khayalanku sendiri, menyeret tas yang masi ku tak tau apa didalamnya, lebih mirip kuli panggul di banding seorang eksekutif muda di bandara. dia berjalan sangat cepat ke dalam gate scanner, mungkin mengejar pesawat, aku menyerah, pesawatku masih 2 jam lagi mengudara. sudah kuduga 2 jam kedepan bakal mati gaya. kulanjutkan membaca di dekat tangga, seandainya bung irfan masi jadi preman disini, mungkin aku bisa berdebat dengan dia untuk membunuh ketergantungan waktu.
setengah jam lagi bung, aku masuk gate dan check in, "mbak bisa minta duduk deket jendela?""bisa pak, tinggal yang di belakang deket toilet""gak usah". 10b, maskapai kelas ekonomi ini memang paling masuk akal bwt org2 sepertiku, meski terkadang harus di dzalimi dengan delAy yang gak kira2. masi ada waktu bwt ashar, kusempatkan memenuhi kewajibanku pada sang khaliq, bersyukur atas darah dan jantung ini yang masih berfungsi dengan baik,dan untuk kimia jiwa yang terlalu cepat datang, terlalu cepat pergi. meski air wudzu gak se gampang itu mengubah pigmentasiku yg pekat, tapi kesejukannya tak pernah hilang ditelan peradaban. aku masih hitam ternyata. masih ada waktu, dogma sebatang lagi dari bung joni begitu melekat, aku hormati engkau dengan kata-katamu yang sederhana, maka ku jentikkan api, kubakar lights, kuhisap dalam-dalam  lalu ku hembuskan ke udara "ini untukmu kawan, sebatang lagi".
entah pikiran dari mana, aku langsung mencari wanita berkerudung coklat tadi di waiting room,chemistry mengantarkanku pada kenyataan yang tak bisa aku pahami dengan akal yang sehat. tapi tak ada disana, biarlah komoditi media itu menghianatiku untuk sesaat, dan bung irfan men cap jidatku yang berkeringat dengan stempel invalid. masa bodo amat, oh itu ada bangku yang kosong, seperti memintaku untuk menindihnya, " baiklah". duduklah disitu seorang pria kurus berjenggot tipis, sunah rassul katanya, dengan celana jeans biru, berkemeja pendek hitam dan memakai sweater abu2, di topi nya ada tulisan god.inc dengan lambang "setan" pentagram didepannya, sangat modis dan elegan kupikir, converse putih yang lebih tepat di sebut dengan sepatu korban penganiayaan di pakainya, meski berkulit hitam, tapi tetap memesona , itu aku, silahkan luangkan waktu untuk muntah bung, aku tak kan marah.ranah tiga warna belum sepenuhnya ditemukan roh didalamnya, aku masi meraba-raba. meski di halaman selanjutnya ada pandangan liar ke selatan, itu dia, olva versi saya, yang sepanjang perjalanan tadi bercengkrama dengan tas ku. pandangan pertama adalah anugrah, dan yang kedua adalah laknat, itulah yang dulu di ajarkan ustadz saya ketika masi kecil. tapi saya manusia indonesia bung, yang menjunjung tinggi pancasila sila kelima, meski sedikit abnormal sekalipun. damn, itu mengingatkan saya ketika bertemu bintang jatuh dulu, ketika terpesona hanya dengan melihat cara dia mengunyah makanan di pujasera kampus, bung joni saksi hidupnya, tanya saja bila kawan tak percaya saya pernah punya moment yang yang dapat menghentikan aliran darah sesaat. kurang lebih seperti itulah situasinya. dan kembali waktu memaksa saya untuk berhenti menikmati frekuensi, berharap maskapai mendzalimi dengan mendelay pesawat, kalo boleh 3 jam sya tak akan protess.namun segalanya sesuai rencana, tak ada delay, dan darah masih mengalir. oh gusti, apa yang menjadikan mahluk itu begitu anggun berjalan, membawa backpack dan travelling bag merah beroda empat, jaketnya se paha, membirukan tubuhnya yang gemulai dengan kepala yang terbungkus aturan agama. kau begitu bercahaya dengan caramu menapakan kaki, meninggalkan puisi merah jambu di setiap jejak yang tercipta. tuhan ijinkanku mengejarnya diantara kerumunan manusia2 republik.aku berjalan cepat, seperti hendak berlari, tak lama aku berada di belakang nya menghimpun keberanian, sejenak aku telah berada di sampingnya, seperti bertahun waktu untuk berada disitu. ku tepuk lengannya " hai" di menoleh, dan tersenyum seakan sengaja membekukan mata, waktu tertahan di ujung tenggorokan, "tadi yang dari bandung itu ya?""iya, naik primajasakan?""yup betul bgt, harusnya tadi aku duduk di sebelah kamu, cuma kalah oleh tas saya euy""hi2 aya2 wae", "mu ngapain ke balikpapan?""ada kerjaan di sana""kerja ap mank?""konsultan""wah keren uy, migas jg?""bukan""tadi ngobrol apa aja ma tas ku""humm ada dehh mw tw aja, lewat tangga belakang yuk?, kamu no berapa?""yah no 10b euy,"" owh enakan lewat depan aja biar lbh cepet""yada deh, pe ktm di spinggan y?""ok".keadaan yg sangat klasik, untuk kesekian kalinya waktu menjadi tersangka utamanya, dia berlalu sangat cepat. aku duduk di tengah, mengingat apa yang telah terjadi, dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti, ku ambil hp, lalu ku sms pak presiden, "bung, saya ketemu olva d bandara. luar biasa bung, bth keberanian berpuluh-puluh kilometer untuk dapat menyapa.. dari bandung sampai balikpapan, mudah2an ketemu lagi d sepinggan sana, oh olva" message sent, message delivery. kwok kwok (semacam ringtone sms),"otw ke borneo lg bung?, hati2 d udara bung, salam buat olva, orangnya mungkin telah selesai tapi frequensinya masi ada".lalu saya beritakan juga ke pendiri rbb,"ktm olva d bandara bung, doakan saya untuk menyapa lagi untuk kdua kali ketika landing nanti..."message sent, no delivery report, kwok kwok (suara sms masuk)," ok.. hati2 sob. ente sms td urg keur jamaah ashar d kampus. yakin kabehnu sholat jd teu khusu ngadenge ringtone sms urg hagagagaga.." , ketawa yang aneh ck ck, "maaf pak, hapenya bisa dimatikan sekarang?" itu pramugari berbaju batik nan cantik menghardik saya, "oh tidak bisa,ini bukan handphone mbak, ini remote tipi" dengan logat medok jawa ku jawab, dia hanya senyum, yang senyumnya tidak sehebat olva. klik kumatikan telpon, saatnya take off.di perjalanan tak bnyk yg bisa aku lakukan selain mencari roh r3w dan mendengarkan ipang dkk lewat ipod shufle. dan waktu berlalu tanpa ada yang istimewa di udara, semua tampak membosankan, kecuali bayangan tentang olva, tidak lebih.
biasanya saya tidak terlalu antusias menginjak tanah kalimantan, karena sudah terbayang 2 minggu kedepan, bagaimana kerasnya matahari disini, keringat di tukar dengan uang, dan muka yang gosong adalah hasilnya. setidaknya aku lebih menghargai uang disini, terasa begitu kurang ajar jika mengahamburkannya begitu saja mengingat resiko kerja yang tinggi, aku telah menjadi mesin ekonomi terbawah yang membungkus matahari dalam secarik kertas. tapi tidak untuk kali ini, ada yang berbeda di perjalanan kali ini. boeing 737 berisi manusia telah mendarat, aku lekas turun, kutunggu olva dengan jalan perlahan, di tak kunjung pula terlihat, sampai di claim bagage ku sengaja berdiri di tengah jalan, menunggu dia datang, menunggu dia mengucapkan salam, menunggu dia menyebutkan nama, menunggu dia menyerahkan contact person, menunggu. tapi tak ada, seperti tasku yang belum juga datang, tas yang membuatku iri karena dia menghabiskan waktu lebih banyak dengan dia. sampai saat tak kusadari dia telah berada di gerbang keluar, dan aku terlambat, hanya bisa melihat dia jauh dari belakang, pemandangan yang sama ketika di jakarta tadi, tak berkurang sedikitpun cahaya dari jejak yang ia tinggalkan. aku telah invalid.ingin aku tanyakan aroma tubuhnya pada tas yang aku seret, sepertinya menyenangkan. tapi entah apa pikiran orang-orang bila melihatku berbicara dengan benda mati, masa bodo amat. aku berlalu bersama kebencianku terhadap tuhan 9 cm, berharap waktu ada di pihakku ketika dia datang kembali di bandara ini. semoga saja.seperti bung irfan bilang "tapi gelombang frekuensinya belum habis, dan aku tidak menyerah untuk itu" kata2 sederhana yang meledakkan naluriku untuk menemuinya kembali nanti. "hey kamu terlalu berlebihan bung, kau terlihat lemah dengan tulisanmu ini. alay, norak, lebay apapun itu, segala hinaan aku tujukan kepadamu, kau memang payah, sudahlah ambil aku sebatang, dan bakar lagi" lights seperti berbicara dengan keras dalam pikiran, aku keluar dari khayalan dan bersahabat kembali dengan tuhan 9 cm. sebatang lagi.(to be continued)

0

ruang tunggu

dulu, aku selalu menginginkan pergi jauh, pergi saja, kemana saj asal jauh.. jauh dari masalah, jauh dari keluarga, jauh dari orang-orang yang aku kenal,jauh dari media dan jauh dari seperangkat alat hidup. kemana saja asal tidak menginjak kaki di tanah jawa. itu seperti merobek halaman buku yang kusam, dan tergeletak di kertas baru yang bersih. bersih dari noda, bersih dari tulisan yang mengutuk hari, mengawali goresan dengan tinta lumpur yang pekat dan muntah sejadi jadinya.
sepertinya sederhana mengulang cerita,

waktu mulai bergerak lambat, aku duduk di ujung itu, sebuah kubus besar berisi bangku yang berderet-deret, ruang tunggu yang menghadap landasan pacu, orang -orng yang bernasib sama mulai gelisah di pecundangi sebuah maskapai yang seenaknya men delay penerbangan, aku masih duduk diam tanpa bahasa.
0

menulis dalam gelap

aku meraba kata kata di balik cahaya menerjemahkan waktu lewat titik koma,

kau begitu absurd, menyendiri dalam gelap

dalam hujan aku luntur seperti abu dan rokoknya

0

kotoran cahaya

aku dengan segala keberantakkan hidupku, kumulai hari ini untuk membuka kembali peta dunia yang dulu pernah aku bangun dari puing2 mimpi yang tersendat-sendat.bahan bakar telah habis, namun semangatnya tetap berdiri tegak, kuangkat kepala dan teriak keras. ada yang muncul dari balik kepala, kemerdekaan tanpa batas. yang ku tau tak ada yang mudah, takkan mudah, takkan pernah mudah. kusadari itu jauh sebelum aku merasa peduli, bahkan sebelum teori2 tentang hidup menjadi dogma yang melekat dalam darah. aku hanya percaya diriku sendiri tentang masalah ini, seyakin islam yang aku anut, dan kebenaran yang di bawanya. apa yang akan kuledakkan lagi selain bahasa yang mengubah darah menjadi aliran energi yang cukup deras. yang mengalirkan informasi kedalam korteks kedalam bentuk informasi yang bisa aku terjemahkan. Maid with the Flaxen Hair terus menggetarkan indera pendengaranku, merangsang impian2 kecil yang berhamburan didalam kepala.



pada mata yang tertutup, aku masih mendengarmu sebagai suara hujan. saat yang tidak tepat untuk membicarakan malam yang semakin kehilangan bahasa. karena dirimu pernah bersujud di belakangku sebagai makmum.
0

cerita pagi #2

pada pagi yang tawar, kutuntun aroma itu ke dalam gelas kaca yang sedikit retak, menenggelamkanya dalam barisan partikel kecil yang bergerak lambat, kuseduh pula rindu itu lewat kata-kata yang mengalir deras di dalam lambung dan usus 12 jari.akupun berlalu menembus lubang pintu yang berderak-derak tersayat angin, wangi tanah selepas hujan telah menyeretku dalam sketsa gerbang waktu yang terlalu cepat datang. ini aku yang dulu pernah mengadili pikiran. seperti membawa peti mati di atas kepala kini terduduk tenang di atas dipan kayu tua dengan sebuah buku .di sebuah halaman belakang yang terbuat dari keringat dan air mata yang asin.. ada namamu dalam setiap daun yang tumbuh, ada namaku dalam setiap daun yg jatuh, bersama kita mengurai cahaya matahari agar tubuhnya berdiri tegak dan seimbang, lalu kita bangun persinggahan di atas dahan-dahan yang kering. rumah yang sederhana namun selalu ada cahaya dari tiap sudutnya, cahaya dari balik matamu yg hangat.
 pijakan pertama aku terdiam, kubutuh kamu untuk membelaku dalam pengadilan hidup, akulah yang menjadi tersangkanya karena telah dengan sengaja mencintai kata-kata, suatu kesalahan yang takkan kusesali. tapi kau tetap diam didalam sampul, ku benamkan dirimu bersama manis pahit kehidupan ke dalam kertas, kususun berulang-ulang, kurekatkan dengan bait, ku jahit dan bungkus dirimu dengan tinta jelaga, diatasnya kutuliskan namamu dengan dengan jelas , biar ku tau selalu ada aku yang menjagamu disana, di atas rak buku dan keinginan untuk tidak membukanya kembali.
0

Maid with the Flaxen Hair

banyak hal yang tak slalu harus kita mengerti, atau alasan kenapa itu ada dan terjadi, bukan berarti pula kita berhak merasa paling benar atas konspirasi dan menciptakan teori2 tentang hidup, apalagi memaksa waktu melawan arah angin. aku bergerak lambat dalam kurva hidupku sendiri, tertinggal revolusi bumi yang tampak diam.sekalipun darah itu tetap merah, dan airmata adalah asin.

apalagi yang kan kau ledakkan selain teriakan sepi di malam hari, yang menjaring mimpi lewat kata2 yang tersendat. karena hanya itu yang bisa kau lakukan sekarang. kopi telah dingin dan asap rokok telah mati, meski Maid with the Flaxen Hair tetap memberikan gelombang di daun telinga.

disini hujan mulai reda, aku menyaaksikan pelangi pucat dari balik jendela, ruang yang benar2 sepi. hanya ada aku sendiri menghirup aroma khas obatan generic


silahkan kau mandi air sejadi-jadina, sampai mata pedih dibuatnya dan kulitmu menjadi keriput dan menggigil seperti ikan salmon yang di bekukan. tapi aku takut air bung, jasadku terbuat dari tanah. dan akan menjadi tanah.maka aku akan melemparkan bata nerah ke kepalamu, agar kau tau darimana kita berasal..

0

mencari tinta

beberapa kali aku menulis, nulis apa aja, dari isi perut sampai gardu listrik dan makanan berkolestrol tingkat tinggi. semua mengalir macam keringat dari dahi yang terpanggang. semua kuisi dengan ruh agar tampak semacam hidup dan mempunyai jiwa. tapi selalu mempunyai ending yang sama, sama-sama berakhr di recycle bin. entah apa yang telah membenturkan kepalaku ke dinding yang keras, hingga tindakkan itu harus aku laksanakan tanpa terkecuali, tanpa syarat , tanpa ampun. tong sampah virtual ku penuh dengan kata2 berkarat.

sampai kutemukan alasan yang masuk akal tentang perilaku yang menyimpang ini, aku tak ingin mengotori republik dengan tulisan-tulisanku yang seperti sampah, tulisan yang berdesakan dlam kepala lalu kupaksakan keluar, lahir ke dunia tanpa jiwa. sama seperti aborsi huruf. membunuh perpanjangan lidah dengan keji. sederhananya telah kuciptakan manusia jadi-jadian macam frankenstein dengan misi menjadi public figoure, artis masa kini, justin beiber apapun itu. bung tentu merasa dilecehkan bukan? apapun bentuknya bung president boleh berpendapat "humor ternyata ada nilai kadaluarsanya", dan itu benar.

0

cerita pagi 1

berkali-kali aku mendzalimi diri sendiri, apa boleh buat, lambungku sudah rusak bung, paru2 jg, ginjal juga, pikiran juga.. ahh bukannya kematian memang sudah di takdirkan.. berkali-kali juga aku ingin menulis, seperti merobek kertas berulang-ulang dan melemparkannya ke luar jendela.. tapi intuisi tak bisa dipaksakan, inspirasi hanya datang ketika kau duduk manis di toilet umum sebuah terminal di ujung jalan sana. dan aku tak ingin melewatkan keaadaan pagi ini hanya untuk itu.tak pernah."HIJAU" dari puppen sepertinya kurang tepat ku letakan di winamp, mengingat saya lagi sensi mendengar bunyi distorsi , vocal arian13 bisa membuat telinga sakit.
0

resensi buku: madre by dee

"Apa rasanya jika sejarah kita berubah dalam sehari?
Darah saya mendadak seperempatTionghoa,
Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,
Bersama kakek yang tidak saya kenal,
Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu:
Madre."
Terdiri dari 13 prosa dan karya fiksi, Madre merupakan kumpulan karya Dee selama lima tahun terakhir. Untaian kisah apik ini menyuguhkan berbagai tema: perjuangan sebuah toko roti kuno, dialog antara ibu dan janinnya, dilema antara cinta dan persahabatan, sampai tema seperti reinkarnasi dan kemerdekaan sejati.
Lewat sentilan dan sentuhan khas seorang Dee, Madre merupakan etalase bagi kematangannya sebagai salah satu penulis perempuan terbaik di Indonesia.
 TENTANG PENULIS
Dewi Dee Lestari lahir di Bandung pada 1976. Tak hanya menghibur khalayak Indonesia lewat suara emasnya, dia juga piawai menulis. Beberapa novelnya mendapat banyak pujian, antara lain Supernova dan Perahu Kertas. Kini, dia kembali hadir dengan karya terbarunya, Madre. bukukita.
0

suatu hari berbicara

walaupun tuan memiliki segudang paku besi untuk menutup mulutku, aku akan tetap berbicara. meski darah yang mengalirkan kata-kata.karena tak ada yang tau besok km akan dipesankan batu nisan dari plastik, kan kuletakan bunga kertas agar abadi dengan wangi obat serangga. masih kurang cukup? baiklah kukibarkan bendera setengah tiang ujung jalan itu lalu kunyanyikan lagu kemerdekaan yang syahdu, persis seperti anak sd yang baru mengenal merah putih adalah identitas negara kita. aku ingin berbicara padamu tentang anak kecil yang tergeletak di halaman rumahmu, didadanya kau sematkan peluru hitam bertuliskan namamu, kau tau tuan? dalam genggamanya ada sebaris puisi untukmu :

kemerdekaan adalah daun kering yang terpanggang dan jatuh ke tanah,
memberikan nafas untuk kau hirup bersama timbal dan nikotin
lalu kau hancurkan tanah kami tempat bermain karet
dan kau leburkan leluhur kami pada dinding2 jacuzzi

aku dalam prognosa ku

bahkan ketika bumi bergeser ke arah tengah, langit tetaplah sama, kita tetap menghitungnya bersama-sama dengan ruas jari kita, meski kita tau, tak pernah ada bintang yang jatuh melintasi kepala. itu membuatku beku pada halaman pertama yang kau sebut dengan preambule atas negara kesatuan yang akan kau ciptakan kelak. hari ini aku terlambat bersujud, meski ku berulang kali bersumpah untuk menegakkan tiang2 agama di balik puncak masjid,aku tetaplah seorang islam yang berantakkan.
 
Copyright © kakilangit