JELAGA PAGI

ada yang membagi pikiran menjadi bercabang rangkaian keputusan hidup. aku terbangun dalam keadaan mati suri, jasad terbujur kaku dalam selimut, sementara aku terjebak dalam gelas kaca dan naskah tentang keterlambatan yang tak bisa aku lawan. bagaimana caranya aku berbalik arah dan memutar sketsa, sementara waktu terus menggerogoti tanpa ampun. yang tersisa hanya sekotak semangat untuk mengakhiri episode terakhir. memenggal waktu. kamu bisa mencium aroma roti panggang dari atas sini, dari atas tumpukan literasi, dari halaman halaman intisari hidup orang2 yang membuang waktu dan membungkus matahari dengan mata uang, asapnya mungkin tak terlihat ketika ia merangkak memecahkan kaca jendela, tapi wanginya telah sukses mengintimidasi jaringan saraf otak dan memprovokasi cacing dalam perut. aku tak berdaya. ini hari kedua, seharusnya aku berada di atas kapar pesiar, memakai celana pendek motif bunga dan bertelanjang dada, duduk manis diantara gelombang laut dan menyeringai, kupikir kacamata ini terlalu besar, hanya jus tropica yang sedikit tumpah di tangan kiriku. ah suara perut itu kembali membenturkan angan-anganku di dinding yang keras. kenyataan aku masi disini, mengendus jejak-jejak mimpi buruk malam tadi, aku di hantam badai timur yang membawa seperangkat alat demokrasi dalam media, dikhianati kerangka utama burung pembawa sejarah dan tenggelam dalam berita.
kuangkat kepala dan membekukan jarum jam di angka 6.18, bumi masi gelap dan aku masih bisa mencongkel keluar bola mataku dan menjentikkan api. kusulut engkau dengan segala kerendahan hati, kuhormati semua sifatmu yang selalu diam dan selalu mendengar omelanku setiap saat, mungkin hanya kau yang kusebut malaikat pembawa pikiran melalui asap dan mengambang, tuhan 9 cm. tak ada kemewahan pagi ini, satu-satunya yang bisa kuterima hanya secangkir kopi dingin sisa malam tadi, selamat tinggal semut hitam, seharusnya tak perlu begini jika kau masi bisa menerima kehadiranku dan berbagi, pembantaian ini jangan kau anggap perang, aku hanya menjalankan hukum alam, silahkan kalian keluar dari kopiku atau terbakar dengan puntung rokokku..
Norah jones mengetuk pintu kesadaranku lewat jazz yang dulu sangat kuhindari, kuruntuhkan kamar dengan teriakan2 kecil dalam hati dan berjalan, dan memanjat dan terduduk diatap. dunia kulepaskan kembali setelah ku persempit dalam ukuran 3X4 m,
Betapa tuhan telah dengan sengaja menghidangkan panorama yang menakjubkan di depan batang hidungku pagi ini, aku bersatu bersama partikel yang terbawa angin dan terhisap.

1 komentar:

Marjo[RBB] mengatakan...

kota in hujan....semoga bisa saya baca berulang2 di ijab kobul ntar hagagaggagag

Posting Komentar

 
Copyright © kakilangit